Minggu, 14 Juni 2020

MENDIDIK DENGAN KETELADAN DAN CINTA

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, berilah kelapangan di dalam majelis-majelis, maka lapangkanlah. Niscaya Allah Swt. akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, berdirilah kamu, maka berdirilah. Niscaya Allah Swt. akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Swt. Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (Surah al-Mujadalah/58: 11)


Surah al-Mujadalah/58 ayat 11 menjelaskan keutamaan orang-orang beriman dan berilmu pengetahuan. Ayat di atas menjelaskan untuk bersemangat menuntut ilmu, belapang dada, menyiapkan kesempatan untuk menghadiri majelis ilmu, bersemangat belajar, menyiapkan segala sumberdaya unutk meningkatkan keilmuan kita, dan senantiasa meningkatkan keimanan dan ketaqwaan.

Abad 21 telah hadir di tengah kita, Hiruk-pikuk gempuran nilai, norma dan budaya non islami kian gencar menggempur generasi penerus Islam saat ini, apa yang kita tanamkan begitu mudah tersingkarkan dan tergantikan oleh budaya digitalisasi yang telah banyak meracuninya, di sisi lain kita merasa lelah, tapi di sisi lain kita punya amanah untuk terus mendidik mereka. 

Adalah Namim AB Ibnu Solihin, Beliau mencoba mengenalkan teori “Adversity” (Ketahanmalangan), istilah ini serasa masih asing di telinga kita, tapi ini sepertinya ini merupakan keilmuan yang sangat bagus dan cocok bagi guru yang menyukai tantangan. Asalnya teori ini digulirkan oleh Paul G. Stoltz Tahun 1979 lewat bukunya “Adversity Qoutient : Turning Obstalce Into Opportunitie” (Mengubah hambatan menjadi peluang). 

Ketahanmalangan bagi seorang guru atau pendidik tentunya sangat dibutuhkan, karena medan juang pembelajaran kian kompleks dengan problemanya seiring dengan perkembangan abad 21. Dalam pada itu, lewat teori Adversity / Ketahanmalangan yang digagas oleh bapak Namim AB Ibnu Solihin, munculan metode kreatif “ Mendidik dengan Keteladan dan Cinta”.

Catatan Singkat Training Guru Kreatif “Mendidik Dengan Keteladan dan Cinta” di Nurul Fikri Boarding School Lembang Bandung Jawa Barat. Bagaimana Proses Mendidik Anak Kita ?
Darimana kita tahu tahapan-tahapan proses mendidik anak kita, mulai dari alam kandungan, balita, anak-anak, remaja hingga ia dewasa dan kemudian menikah. Selama ini kita mungkin berpikir biarkan sajalah seperti air mengalir, toh ayah dan ibu kita juga dulu yang tidak pernah ikut kajian atau tidak memiliki buku-buku parenting mereka berhasil membesarkan kita hingga menikah.

Padahal jelas dalam Islam ada tahapan-tahapan tertentu dalam mendidik anak, karena mendidik anak bukan hanya sekedar memberi makan, menyekolahkan, membesarkannya, dan menikahkannya. Tapi lebih dari itu tuga kita adalah menjaga ke fitrahan anak kita serta menamkan tauhid dan aqidah sejak kecil.

Kita Enggan Menuntut Ilmu, Merasa Diri Cukup dan Terlalu Sibuk !. Harusnya saat kita menyadari bahwa kita tidak memiliki ilmu yang cukup dalam mendidik anak maka tugas kita adalah semangat belajar dalam menuntut ilmu. Tidak ada alasan merasa diri cukup dan terlalu sibuk. Karena jangan sampai kelak kita menyesal saat anak kita justru jatuh dalam jurang kehancuran.

Mulailah dari sekarang, banyak cara kita bisa untuk menuntut ilmu, toh sesibuk-sibuknya kita ternyata masih sempat jalan-jalan, masih sempat nongkrong, masih sempat bergosip, masih sempat bermain media sosial, lalu kenpa kita selalu punya banyak alasan untuk tidak menuntut ilmu.

Kita bisa hadir diacara kajian langsung, kita bisa ikut Halaqah, Kita bisa ikut Liqo, kita bisa ikut seminar parenting, kita bisa ikut komunitas , kita bisa lihat kajian di video, kita bisa dengarkan kajian di Radio, Kita bisa baca buku dan lain sebagainya. Bukankah menuntut ilmu adalah perintah yang sangat jelas dalam Islam. Jadi ayo semangat kembali untuk menuntut ilmu.

Karena sekolahnya Bukanlah Segalanya !
Sekolah bukanlah tempat ajaib yang bisa menjadikan anak kita sesuai dengan yang kita inginkan, sekolah bukanlah tempat yang menjadikan kita berpangku tangan untuk tidak melakukan apa-apa, sekolah adalah tempat dimana anak-anak kita belajar berinteraksi sosial dengan banyak orang. Sekolah memang tempat menuntut ilmu , tapi tidak semua ilmu bisa didapatkan disini, mereka tidak akan mendapatkan ilmu pengasuhan dari ayah dan ibu kecuali di rumahnya sendiri.

Jika sekolahnya baik, gurunya santun dan berilmu, karywannya ramah, teman-temannya berakhlak dan menyenangkan, kurikulum sekolahnya berorientasi pada surga, maka berutunglah anak kita sekolah disini. Tapi bukan berati tugas kita selesai, justru tugas kita yang harus mampu bersinergi dengan sekolah. misalkan jika disekolahnya anak sudah terbiasa membaca Al-Qur’an, janganlah kemudian dirumah kita memutar lagu dangdut atau musik-musik yang lainnya yang bisa menghilangkan hafalan anak kita.

Jadi sekolah terbaik bagi anak-anak kita justru adalah di rumahnya sendiri. Ya ibu adalah madrasah pertama bagi anak kita, ibu adalah gurunya ayah adalah kepala sekolahnya. Kepribadian anak-anak kta mencerminkan kepribadian guru dan kepala sekolah yang sesungguhnya di rumah.

Ayo mulai dari kita, dari sekarang.Mulailah kita memberikan teladan terbaik untuk anak-anak kita, Cintai anak-anak kita sepenuh hati seperti doa dan harapana kita kepada Allah untuk memiliki keturunan, nah jika Allah sudah memberikannya maka tugas kita adalah menjaga amanah yang mulia ini dengan pendidikan terbaik. Pendidikan terbaik hanya bisa didapatkan jika kita berilmu, maka teruslah belajar agar kita menjadi orang yang berilmu.

Catatan ini untuk saya !. Inilah catatan singkat saya pada acara seminar parenting “Mendidik Dengan Keteladanan dan Cinta” di SMP Islam Nazhirah Kota Bandar Lampung. Ya , disesi akhir seminar ini saya mengatakan , apa yang saya sampaikan selama dua jam ini kepada ayah dan buda, sesungguhnya pesan yang amat medalam bagi saya sendiri, sebagai manusia yang miskin akan pengetahuan agama.

Ya, setiap kali saya melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain, dari satu sekolah ke sekolah lain, dari satu kampus ke kampus lain, dari satu pesantren ke pesantren lain, dari satu lembaga ke lembaga lain, saya selalu menemukan hal-hal baru yang membuat saya merasa bahwa apa yang saya miliki ternyata belum seberapa. Karena dari perjalanan tersebut saya selalu dipetemukan dengan orang-orang yang berilmu dan memiliki semangat untuk membangun pendidikan.

Jika pesan ini ingin mengingatkan ayah dan bunda, jika pesan ini ingin sampai ke teman-teman ayah dan bunda, agar terus semangat untuk belajar ilmu mendidik anak, maka silahkan dishare.
Adversity (Ketahanmalangan) memang masih asing di sebagian telinga kita, hal ini terlihat ketika pertama kali saya mengenalkan kepada guru-guru Muhammadiyah Cileungsi, sebagian mereka tidak memahami apa itu ketahanmalangan atau dalam bahasa Inggris disebut adversity, saya pribadi baru mengenal istilah dan teori ini sekitar dua tahun yang lalu saat kuliah diprogram study MAP Uhamka. Buat saya ini merupakan sebuah keilmuan yang sangat bagus karena cocok dengan karakter penulis yang menyukai tantangan. Ketertarikan saya terbukti ketika akhirnya pada penyusunan Tesis mengambil teori yang dibuat oleh Paul G.Stoltz ini.

Tahun 1979, Paul G. Stoltz menggulirkan revolusi dengan buku Adversity Quotient : Turning Obstalce Into Opportunitie (Mengubah Hambatan Menjadi Peluang). Dia memperkenalkan konsep mengatasi kesulitan untuk disadari masyarakat luas. Mengatasi kesulitan, atau AQ, adalah ukuran kemampuan seseorang untuk mengatasi kesulitan. Orang yang tidak dapat mengatasi kesulitan mudah menyerah dan menjadi emosional, kemudian menarik diri dan berhenti berusaha, adalah orang – orang yang tidak memiliki daya juang yang tinggi. Bagi orang – orang yang dapat mengatasi kesulitan dengan baik maka dia akan menjadi pemipin di masa kini dan masa yang akan datang.

Adversity Quoitent (AQ) mempunyai tiga bentuk. Pertama, AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respons seseorang terhadap kesulitan. Ketiga, AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan.

Jadi dari pengertian tersebut dapat disimpulkan AQ, merupakan suatu penilaian yang mengukur bagaimana respon seseorang memahami dirinya dalam meningkatkan kesuksesan dari semua aspek kehidupan. Adversity quotient juga merupakan sebuah penilaian yang mengukur sikap seseorang dalam menghadapai masalah untuk dapat diberdayakan menjadi peluang. Adversity quotient dapat menjadi indikator seberapa kuatkah seseorang dapat terus bertahan dalam suatu pergumulan, sampai pada akhirnya orang tersebut dapat keluar sebagai pemenang, mundur di tengah jalan atau bahkan tidak mau menerima tantangan sedikit pun.Adversity Quotient dapat juga melihat mental dalam merespon kesulitan.

Membangun Ketahanmalangan Guru. Dalam upaya membangun ketahanmalangan guru bayak hal yang bisa dilakukan oleh kepala sekolah, namun karena tingkat ketahanmalangan seseorang berbeda-beda maka kita harus tahu terlebih dahulu tingkat ketahanmalangan tersebut. Berikut ini tingkat ketahanmalangan yang dikemukan oleh Paul G.Stoldz :

Stoltzmembagi tiga kelompok manusia yang ibaratkan sedang dalam perjalanan mendaki gunung, yaitu pertama, Quitters yaitu orang yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti. Mereka ini disebut Quitters atau orang – orang yang berhenti. Mereka menghentikan pendakian. Mereka menolak kesempatan. Mereka mengabaikan, menutupi, atau meninggalkan dorongan inti yang manusiawi untuk mendaki, dan dengan demikian juga meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan.

kedua, Campers atau orang yang berkemah. Mereka pergi tidak seberapa jauh, lalu berkata “ sejauh ini sejalan saya mampu mendaki (atau ingin mendaki)”. Karena bosan, mereka mengakhiri pendakiannya dan mencari tempat datar yang rata dan nyaman sebagai tempat bersembunyidari situasi yang tidak bersahabat. Mereka menghabiskan sisa – sisa hidup mereka dengan duduk di situ. Berbeda dengan Quitters, Campers sekurang – kurangnya telah menanggapi tantangan pendakian. mereka telah mencapai tingkat tertentu.

Ketiga, Climber atau pendaki, adalah sebutan untuk orang yang seumur hidup membaktikan dirinya pada pendakian. Tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan atau kerugian, nasib buruk atau nasib baik, dia terus mendaki. Climber adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan – kemungkinan, dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental, atau hambatan lainnya menghalangi pendakiannya.

Nah...ada ditingkat manakah ketahanmalangan yang ada miliki. Kalau sudah tahu anda bisa memperbaikinya agar bisa mencapai ketingkat Climber. Kalau anda guru yang sering mengeluh atau grutu kalau diberikan tugas oleh atasan berarti anda termasuk orang yang Quiters tapi kalau ada orang yang siap menerima tantangan maka ada bisa dikatakan sebagai guru dengan Predikat Climber.

Berikut ini adalah cara yang bisa dilakukan oleh kepala sekolah untuk meningkatkan ketahanmalangan guru.Apabila kita melihat pada realitas yang ada, mungkin tidak semua orang memiliki ketahanmalangan yang bagus. Setiap orang memilki tipe – tipe yang berbeda, ada yang memiliki AQ rendah, sedang dan tinggi. oleh sebab itu untuk membuat AQ seseorang bisa menjadi lebih baik,bisa dilakukan beberapa cara yang dikemukan oleh Stoltz.Stoltz mengemukakan bagaimana cara memangun AQ seseorang, yang dikenal dengan “lead”.

§L=listening, artinya orang harus belajar untuk mendengar.
§E= Explore, adalah melakukan eksplorasi terhadap hal – hal dimana seseorang merasa bertanggung jawab tetapi mampu untuk memperbaiki.
§A= Analyze, adalah melakukan analisa untuk mencegah pikiran – pikiran negatif yang muncul, dalam arti kata melakukan koreksi terhadap pemikiran yang keliru perihal suatu kesulitan.
§D= Do, adalah melakukan sesuatu untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi.

Dengan tekun melatih LEAD, Stoltz yakin konsep ini akan menjadi alat ampuh untuk melepaskan diri dari keputusasaan pada saat bantuan orang lainpun akan menemui kegagalan. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa AQ adalah faktor terpenting untuk meraih sukses, bahkan semua bakat dan hasrat akan sia – sia jika terus diselimuti oleh AQ rendah.

Oleh sebab itu ketahanmalangan bagi seorang guru atau pendidik tentunya sangat dibutuhkan. Karena seorang guru yang memiliki AQ yang tinggi akan terus bersemangat pantang menyerah mendidik generasi – generasi terbaik. Guru yang memilki AQ tinggi juga akan memberikan energi positif terhadap anak didiknya, sehingga semangat akan hadir pada keduanya yaitu pada guru dan siswanya. Ketika sesorang gurunya menyadari bahwa AQ –nya kurang bagus maka langkah – langkah yang dikemukan oleh Stoltz bisa digunakan atau bisa dicoba. Selain itu tentunya AQ yang tinggi harus dilakukan dengan secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk mengetahui banyak tentang teori tesebut saya sarankan anda untuk membeli buku tersebut, memang agak sulit mencarinya karena sangat langka,tapi kalau ada guru Climbers pasti bisa mendapatkannya.

0 komentar:

Posting Komentar